LAPORAN
RESMI
PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PEWARNAAN DASAR KULIT
“KETAHANAN
WARNA KULIT TERSAMAK TERHADAP PENCUCIAN DAN KERINGAT”
Dosen: Elis Nurbalia, ST, M.Eng
Disusun oleh
Alfin Muhaimin Salam
130201007
PROGRAM
STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN KULIT KONSENTRASI PENYAMAKAN KULIT
KEMENTERIAN
PERINDUSTRIAN RI
PUSAT
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN INDUSTRI
AKADEMI TEKNOLOGI KULIT YOGYAKARTA
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan
Resmi PraktikumTeknologi Pewarnaan Dasar Kulit
“KETAHANAN WARNA
KULIT TERSAMAK TERHADAP PENCUCIAN DAN KERINGAT”
Disusun
Guna Melengkapi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Praktikum Teknologi Pewarnaan
Dasar Kulit
Progran studi teknologi pengolahan kulit konsentrasi
penyamakan kulit
Akademi
Teknologi KulitYogyakarta
Yogyakarta,...........desember 2014
Praktikan
Alfin Muhaimin Salam
130201007
Mengetahui,
Asisten Dosen I Asisten Dosen II
Noviari Prasetyo Rini, Amd Emilliana A. Spt, MP
Dosen Pengampu
Elis Nurbalia, ST, M.Eng
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas nikmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan resmi praktikum teknologi pewarnaan dasar kulit.
Pada
kesempatan ini kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Elis
Nurbalia, A.Md, ST, M.Eng selaku dosen pengampu mata kuliah Teknologi Pewarnaan
Dasar Kulit atas bimbingannya, Noviari Prasetyo Rini, A.Md dan Emillia A. Spt,
MP selaku asisten dosen praktikum Teknologi Pewarnaan Dasar Kulit serta semua
pihak yang telah membantu.
Laporan
Resmi Praktikum ini dibuat sebagai pertanggungjawaban atas praktikum yang telah dilaksanakan. Dalam
Laporan Resmi ini berisi semua hal yang berkaitan dengan praktikum yang telah
dilaksanakan yaitu ketahanan kulit tersamak terhadap pencucian dan ketahanan
kulit tersamak terhadap keringat.
Kami
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan agar bisa menjadi
lebih baik di masa yang akan datang. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi
kita semua yang membacanya.
Yogyakarta, November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang...........................................................................
B. Maksud
dan Tujuan..................................................................
C. Tinjauan
Pustaka........................................................................
BAB II. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A. Pengujian
Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Pencucian
1. Tujuan..................................................................................
2. Alat
dan Bahan....................................................................
3. Cara
Kerja............................................................................
B. Pengujian
Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Keringat
1. Tujuan...................................................................................
2. Alat
dan Bahan....................................................................
3. Cara
Kerja............................................................................
BAB III. PENGAMATAN.........................................................................
BAB IV. PEMBAHASAN.........................................................................
BAB V. PENUTUP
Kesimpulan...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kualitas kulit
bagus sangat di tuntut dalam industry perkulitan, terlebih kulit yang di
butuhkan untuk membuat produk- produk unggulan yang banyak di buru pecinta
produk dengan bahan dasar kulit. Mutu dan kualitas kulit jadi juga sangat
menentukan kualitas produk yang akan di buat. Banyak di lakukan pengujian-
pengujian untuk menentukan bagus atau tidaknya mutu kulit.Pengujian di lakukan
setelah kulit melalui proses pewarnaan dasar (dyeing) atau kulit yang telah di
finish. Warna merupakan sensasi
cahaya akibat refleksi pada panjang gelombang tertentu dari suatu benda yang
merupakan respon faali maupun psikologis oleh system syaraf mata pada selaput
jala. Dari panjang gelombang yang
berbeda tersebut akan menimbulkan efek warna yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat industri kulit
dituntut untuk meningkatkan kreatifitasnya agar kulit yang dihasilkan lebih berkualitas
dan memiliki daya jual yang tinggi.Salah satu langkah yang dilakukan adalah
memberikan warna dasar pada kulit tersebut setelah proses netralisasi atau
setelah retanning tergantung dari jenis zat retanning (mineral, nabati,
aldehide) yang digunakan untuk proses retanning. Proses pemberian warna
tersebut biasa disebut dyeing dan zat warna yang digunakan disebut dyestuf.
Terdapat bermacam – macam jenis dyestuf yang dapat digunakan untuk memberikan
warna pada kulit, antara lain adalah acid dyestuf, direct dyestuf, metal
complex, reaktive dyestuf, fur dyestuf, vat dyestuf, dan masih banyak lagi
bahkan zat nabatipun dapat digunakan untuk proses pewarnaan dasar kulit.
B.
Maksud
dan Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk :
1.
Untuk mengetahui ketahanan warna kulit tersamak terhadap
pencucian dibawah kondisi domestik dimana proses pencucian tidak hanya terjadi
perubahan warna kulit tetapi kemungkinan kelunturan dan memberikan noda pada
bahan lainnya.
2.
Untuk mengetahui ketahanan warna kulit
tersamak terhadap keringat manusia dibawah kondisi domestik dimana keringat
manusia sangat bervariasi sifatnya sehingga didalam proses pengujian dirancang
dengan menggunakan keringat buatan yng bersifat universal meskipun demikian
tetap memberikan hasil seperti keringat alami.
3.
Metode ini dapat dipakai untuk semua
jenis kulit tersamak terutama untuk kulit garmen, sepatu, glove dan lain-lain
yang secara normal dalam pemakaian produk disainnya akan mengalami sentuhan
dengan kulit manusia.
C.
Tinjauan
Pustaka
1.
Zat
Warna
Pada tahun 1876 Otto Witt mengusulkan
teori tentang zat warna, bahwa dalam suatu struktur molekul zat warna akan
mengandung gugus tidak jenuh yang disebut kromofor (Contoh : -N=N-, >C=O,
-NO2) dan gugus pembentuk garam yang disebut auksokrom Contoh : -OH, -NH2, -SO3H. Bila kromofor
berikatan dengan sistem aromatik akan diperoleh senyawa yang berwarna,
contohnya azo bensena berwarna orange, antrakwinon berwarna kuning muda.
Gabungan sistem aromatik dan kromofor tersebut disebut kromogen. (Purnomo, E : 2010).
Kromogen seperti azobensena belum bisa
dipakai sebagai zat warna karena intensitas warnanya rendah dan belum mempunyai
daya celup. Tetapi bila dimasukkan satu atau lebih gugus auksokrom maka akan
menjadi zat warna. Dilthey dan Wizinger mengemukakan bahwa auksokrom ada yang
bersifat donor elelktron dan ada juga yang bersifat penarik elektron. Bila
auksokrom pemberi elektron diletakan pada arah berlawanan dengan auksokrom
penarik elektron dalam struktur molekul zat warna maka akan memperbesar sistem
konyugasi zat warna, sehingga selain meningkatkan intensitas warna juga akan
menimbulkan efek bathokromik, yaitu panjang gelombang maksimum ( λ maks) zat
warnanya akan semakin besar, contohnya dari kuning menjadi merah.
Pada tahun 1900 Gomberg menemukan
radikal trifenil metan yang ternyata berwarna padahal pada strukturnya tidak
ada kromofor maupun auksokrom. Pada
tahun 1907 Hewitt dan Mitchel menyatakan pentingnya sistem konyugasi dalam
struktur zat warna, bahwa penuaan warna akan semakin besar dengan semakin panjangnya
sistem konyugasi dalam struktur zat warna. Seiring dengan ditemukannya konsep
resonansi elektron dalam struktur yang terkonyugasi diperoleh bahwa penyebab
timbulnya warna adalah karena dalam struktur zat warna yang terkonjugasi akan
ada resonansi electron π.
2.
Dyes.
Dyes adalah komponen molekul organik yang memiliki
kumpulan senyawa inti tak jenuh, disebut
kromofore yang bergabung dengan komponen lain dimana gabungan
ini disebut kromogen serta
gugus substantive yang berfungsi sebagai penguat/ mengintensifkan warna dan memperbaiki substantifitas
ikatan dengan substratnya (serat kulit, kertas, poliamida, katun, sutera dll)
yang disebut ausokrome.
(ON Witt, 1876)
3. Kromopore
& Auksokrome.
Kromofore
(chromophore)
berasal dari bahasa Yunani chroma =
warna, dan phores =
pembawa atau pengemban diartikan sebagai pembawa warna. Sedangkan auksokrome (auxochromes)
berasal dari kata Yunani auxanien =
meningkatkan dimaksud meningkatkan ikatan kimia dengan serat. Dapat dipahami kromofore adalah yang mengalami
transisi electron ΠàΠ* sedangkan auksokrom yang menjalani
transisi electron ŋ. (Purnomo, E : 2010).
4. Mekanisme Ikatan Dyes
dengan Kulit.
Pada dasarnya, pada saat kulit bersentuhan dengan
pewarna akan segera terjadi reaksi parsial antara gugus muatan berlawana antara
pewarna yang ter-ion dan bermuatan negative dengan bagian kulit yang bermuatan
positif seperti komponen amina. Kecepatan reaksi tergantung pada VSF. Semakin
negative reaksi semakin lambat ikatan ionik terjadi juga sangat lemah. Kulit wet-blue yang telah mengalami
netralisasi, penyamakan ualng dan peminyakan VSFnya sangat tinggi sehingga
sulit bagi pewarna untuk terikat kecuali dipercepat dengan penambahan asam yang
dapat mempercepat proses disosiasi garam pewarna dan gugus amina pada kulit.
Proses ini disebut fiksasi atau pengikatan. (Purnomo, E : 2010).
5.
Ketahanan Warna Kulit
Tersamak Terhadap Pencucian (Colour Fastness to Washing Of Leather)
Warna adalah spektrum yang terdiri atas radiasi elektromagnetik
dengan panjang gelombang 400-800 nm. Sinar putih akan terserap pada panjang
gelombang tertentu dan yang terpantul merupakan sisa warna yang terserap. Pewarnaan
dasar adalah memberikan warna dasar agar dapat memperindah warna kulit jadinya
(Purnomo, E : 2001).
Leather
Dyer’s Manual (BASF) mengungkapkan bahwa faktor-faktor
fundamental yang mendasari ketahanan sifat yang dimiliki dari kulit yang dicat
adalah hasil dari penyamakan. Jika kulit yang dicat dikehendaki memiliki sifat
ketahanan yang baik, cat harus terikat dengan kuat pada kulit dan menghasilkan
pengecatan yang ketahanannya baik terhadap kelunturan, keringat, pencucian dan
ketahanan cahaya. Ini penting diperhatikan dalam menggunakan bahan-bahan
penyamak untuk mengerjakan keperluan-keperluan ini. (Purnomo, E : 2001).
Ikatan yang dihasilkan lebih banyak oleh ikatan
garam. Ikatannya sama sekali tidak kuat, dan akan pecah oleh sedikit pembasahan
dengan sedikit dinaikkan temperaturnya, keringat, hujan, alkali-alkali lemah
seperti debu atau lumpur jalanan dan juga hasil perubahan dari minyak. Cat
kulit yang baik terikat pada serat kulit tidak hanya oleh valensi-valensi ion
pembentukan garam tetapi juga oleh valensi-valensi sekunder. Pengikatan dengan
bantuan dari kekuatan valensi sekunder (daya koordinat) akan dominan pada pengecatan
dasar (dyeing) hampir dari seluruh tipe kulit. Dengan demikian ikatan-ikatan
akan stabil. Dalam hal ini, cat-cat itu menghasilkan kulit dengan warna yang
berkualitas tinggi. (Purnomo, E : 2001).
6.
Faktor-Faktor
Kelunturan Warna
a.
Ikatan
Antara Cat Dasar Dengan Kulit
Abrahart EN (1979)
menyatakan, bahwa ada 4 tipe ikatan antara cat dengan kulit, yaitu:
1. Ikatan
ionik
Ikatan ionik adalah gaya tarik menarik antara dua muatan
listrik yang berlainan sehingga tidak ada ikatan yang erat antara ion–ion, bila
senyawa ion di larutkan dalam air maka maka ion–ion akan terdisosiasi. Ikatan
terjadi dari interaksi antara muatan positif kulit dengan muatan negative dari
molekul cat dasar atau sebaliknya.
2. Ikatan
hidrogen
Ikatan
antara molekul berupa gaya tarik menarik oleh atom yang keelektronegatifannya
sangat besar (F, O atau N) terhadap atom H dalam molekul lain. Suatu cat yang
mengandung unsur H pada rantai sambungnya dapat membentuk ikatan hidrogen
dengan kulit.
3. Ikatan
kovalen
Kovalen sebagai ikatan yang sangat kuat, terbentuk karena
penggunaan bersama pasangan elektron John Selbin (1993). Bila elektron yang
digunakan bersama berasal dari satu pihak maka ikatannya disebut ikatan kovalen
koordinat. Dengan adanya ikatan–ikatan tersebut cat dasar akan terikat kuat di
serat kulit dan tidak luntur.
4. Ikatan var der waals
Pada molekul–molekul non polar terjadi gaya tarik menarik
yang lemah kemudian membentuk ikatan yang dikenal dengan ikatan var der waals. Gaya tarik-menarik yang
lemah disebabkan oleh terbentuknya dipol sesaat yang terjadi antar molekul yang
non polar.
John Selbin (1993) mengatakan, bahwa dari keempat jenis
ikatan tersebut mempunyai kekuatan
ikatan berturut–turut dari kuat ke lemah sebagai berikut:
1. Ikatan
kovalen
2. Ikatan
ionik
3. Ikatan
hidrogen
4. Ikatan van der
waals
Setelah kita mengetahui iakatn–ikatan kimia cat dengan
kulit, kita tahu bahwa untuk memperbaiki sifat ketahanan gosok dan kelunturan
warna kulit adalah pemilihan bahan kimia dan aplikasi dyeing yang menitik beratkan pada kekuatan ikatan cat dengan kulit.
b.
Adanya
Molekul Cat Yang Bebas Di Permukaan Kulit
Hakikat
dasar proses pengecatan dasar adalah mereaksikan molekul cat dengan serat
kulit. Apabila gugus yang bermuatan kationik di dalam kulit sudah mengalami
titik jenuh, maka tidak dapat lagi mengikat gugus anionik dari cat dasar atau
dengan kata lain cat muatan kationik di dalam kulit kurang. (Purnomo, E : 2001).
c.
Proses
Fiksasi Yang Kurang Sempurna
Pemakaian
asam dan waktu putar yang kurang dapat menyebabkan fiksasi kurang sempurna
karena reaksi antara molekul cat dengan muatan kationik kulit tidak maksimal.
Selain itu terkadang terdapat jenis cat dasar asam yang molekulnya belum
terpecahkan atau terdisosiasi pada pH fiksasi tersebut akibatanya tidak terjadi
reaksi antara molekul cat dengan muatan kationik kulit. (Purnomo, E : 2001).
d.
Penggunaan
Syntan Yang Berlebihan
Proses retaining menggunakan tanigan OS yang
merupakan syntan bermuatan anionik yang akan menghalangi
(mengeblok) grup amino dan dapat memberikan efek keratin warna. Tetapi
penggunaan yang berlebih (1,5%) menyebabkan tidak terikatnya molekul cat dengan
maksimal karena berkurangnya muatan kationik kulit sehingga dapat mengakibatkan
kelunturan. (Purnomo, E : 2001).
e.
Fatliquoring
Tingginya
kadar SO3-, sulfochlrinared
dan bahan pengemulsi dari minyak akan meningkatkan penetrasi dan kerekatan cat
tetapi dapat mengurangi ketajaman warna atau memberikan efek pemucatan.
(Purnomo, E : 2001).
7.
Peningkatkan
Ketahanan Kelunturan Kulit
Menurut
Purnomo, E (2001), peningkatan ketahanan kelunturan warna dipengaruhi oleh :
a. Penggunaan
bahan penyamak mineral akan menyumbangkan gugus kationiknya dan membentuk
senyawa kompleks dengan senyawa asam. Ikatan yang terbentuk adalah kovalen
koordinat yang sifatnya sangat kuat sehingga cat tidak mudah luntur.
b. Pemilihan
cat dasar
Cat dasar yang digunakan
memiliki ikatan molekul yang sama, ph yang sesuai dengan ph kulit.
c. Metode
pewarnaan
Pewarnaan dengan metode sandwich akan memberikan ikatan yang
maksimal pada kulit sehingga menghasilkan kulit yang mempunyai ketahan luntur
yang baik. Metode ini di lakukan saat proses
topping dyes yaitu dengan menambahkan cat dasar dengan waktu relatif
singkat dan diselingi dengan penambahan asam. Sehingga cat sebagian besar
terikat di permukaan dan menghasilkan warna yang tajam.
d. Pemilihan
bahan kimia
Bahan-bahan
kimia dan perlakuan kimia tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna
atau kelunturan bahan kimia misalnya sabun yang dipakai pada pencucian kulit,
asam termasuk keringat manusia dapat mengikat cat dasar atau memutus ikatan cat
dengan kulit. Perlakuan fisis seperti gesekan akan menimbulkan energi panas dan
elektron jika elektron ini mampu mempengaruhi cat maka warna sangat mungkin
terjadi perubahan. Hal ini disebabkan transisi elektron ketika zat menerima
maka akan mengeluarkan panjang gelombang yang tidak sama sesuai dengan energi
yang diterima.
Uji ketahanan kulit pada pencucian
pada dasarnya mengandung metode pelunturan warna, dimana kulit yang diuji atau
dicuci akan memberikan noda atau kelunturan pada bahan yang dilekatkan, jika
bahan tersebut banyak kelunturannya berarti kulit yang diuji tidak tahan terhadap pencucian. Uji ketahanan warna terhadap
pencucian pada prinsipnya dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
a.
Penetrasi
cat terhadap kulit, pada penetrasi yang tinggi kemampuan cat untuk bereaksi
dengan bahan lain semakin rendah.
b.
Semakin
kecil penetrasi cat terhadap kulit, maka semakin kecil kelunturannya terhadap
pelunturan.
c.
Kelemahan
afinitas cat terhadap kulit serta terhadap air sabun sehingga tidak mudah untuk
melunturkan bahan lain yang sebagai pembanding.
Adapun
bahan yang biasa digunakan untuk uji ketahanan terhadap pencucian adalah:
1. Kelompok
senyawa natrium alkali sulfat
Misal : dedocyl sodium
sulphate R – Na2SO4
2. Kelompok
senyawa natrium alkali benzone sulfonat
Misal : Alkali benzene
sulfonat
CH3 – (CH2)n
– CH – – S – ONa
| ||
CH3 O
Dalam penggunaannya pada proses penyamakan, cat
dasar yang digunakan harus melalui beberapa tahapan pengujian sifat sehingga
dapat disesuaikan penggunaannya dengan jenis penyamakan yang dilakukan. Proses
pengecatan dasar sendiri terpengaruh pada beberapa hal antara lain temperatur,
konsentrasi, serta jenis penyamakan. Valensi sekunder pada cat akan dilemahkan
dengan naiknya temperatur dan temperatur yang tinggi akan dapat memecah molekul cat dasar. Hal ini
menyebabkan kelarutan yang cukup baik pada cat dasar. Dengan temperatur yang
semakin tinggi akan menjadikan molekul cat dasar semakin mengecil, keadaan
tersebut menyebabkan penetrasi dan distribusi cat pada kulit semakin baik
tetapi memiliki daya ikat yang kurang.
(Purnomo, E : 2010).
Konsentrasi cat dasar yang tinggi akan
memberikan warna yang terang pada permukaan kulitnya. Namun, dalam prosesnya
konsentrasi yang tinggi harus diimbangi dengan jumlah air yang mencukupi karena
jika tidak maka dapat menyebabkan difusi cat yang tidak merata pada penampang kulit.
Jenis cat dasar yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis bahan penyamak
yang digunakan karena gugus pada cat dasar dapat berikatan dengan gugus pada
bahan penyamak. Misalnya saja untuk cat dasar dari jenis cat asam jika
digunakan pada proses penyamakan dengan krom maka ikatan yang terjadi tergolong
cepat sehingga penetrasi bahan pada kulit tidak merata. Sebaliknya jika
digunakan pada kulit yang disamak nabati maka ikatan yang terjadi tergolong
lambat sehingga penetrasi bahan juga lambat dan penetrasi bahan cukup baik. (Purnomo, E : 2010).
8.
Ketahanan Warna Kulit
Tersamak Terhadap Keringat (Colour Fastness to Perpiration Of Leather)
Kandungan utama dalam keringat adalah sodium klorida (bahan utama garam
dapur) selain bahan lain (yang mengeluarkan aroma) seperti 2-metilfenol (o-kresol) dan 4-metilfenol (p-kresol). Penguapan keringat dari
permukaan kulit memiliki efek pendinginan karena panas laten penguapan air yang mengambil panas dari
kulit. Oleh karena itu, pada cuaca panas, atau ketika
otot memanas karena bekerja keras, keringat dihasilkan. Keringat meningkat
dalam keadaan gugup dan mual, serta menurun dalam keadaan demam. Hewan-hewan
yang memiliki sedikit kelenjar keringat, seperti anjing, menurunkan temperatur tubuh dengan membuka mulutnya
sambil menjulurkan lidah (terengah-engah), sehingga air menguap dari rongga
mulut dan pharynx-nya. Hewan primata dan kuda, memiliki kelenjar keringat di ketiak seperti pada
manusia. (Purnomo, E : 2010)
Keringat
merupakan limbah yang dihasilkan dari aktivasi tubuh manusia yang mengandung
bahan-bahan yang sangat bervariasi, antara lain; NaCl, asam laktat, urea,
amonia dan sebagainya, serta mengandung aneka ragam jenis bakteri yang dapat
memberikan efek bau kurang sedap. Dalam realita kehidupan sehari-hari keringat
dapat merusak barang kulit jadi seperti sarung tangan, garment dan lain-lain.
Keringat dapat memberikan efek keras dan rengas pada kulit. Rusaknya pegangan
kulit disebabkan karena keringat mampu bereaksi dengan chrom kompleks dalam kulit.
Keringat berkedudukan sebagai asam lemah, sehingga dalam kasus ini bisa
dikatakan terjadi proses retanning dan proses ini mengakibatkan kulit menjadi
semakin berat dan kaku. Terkadang warna juga bisa pudar atau bahkan luntur
akibat perlakuan keringat. (Purnomo, E
: 2010)
Terdapat dua macam kelenjar keringat yang
berbeda dalam komposisi keringat yang dihasilkan serta fungsinya:
1. Kelenjar keringat ekrin tersebar di seluruh permukaan tubuh tetapi lebih banyak
terdapat telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Keringat yang dihasilkan
adalah air yang mengandung berbagai macam garam. Kelenjar
ini berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh.
2. Kelenjar keringat
apokrin menghasilkan keringat yang mengandung lemak. Kelenjar ini terutama terdapat pada ketiak dan sekitar
alat kelamin. Aktivitas kelenjar ini
menghasilkan bau karena aktivitas bakteri yang memecah komponen organik dari keringat yang
dihasilkannya.
Keringat manusia sangat bervariasi sifatnya.
Sehingga sulit untuk membandingkan ketahanan kulit terhadap keringat manusia
dengan indikator manusia yang berbeda. Sehingga untuk menghadapi masalah itu
maka pengujian ketahanan keringat dapat diuji dengan menggunakan indikator
larutan keringat buatan yang bersifat universal tetapi mampu memberikan hasil
seperti keringat alami. Ketahanan keringat sangat penting dalam pengujian
kualitas kulit yang banyak berhubungan langsung dengan kulit manusia. Misalnya
kulit garment dan kulit lapis yang digunakan dan harus bersentuhan langsung
dengan kulit manusia. Inilah yang harus diperhatikan dalam pengolahan kulit
bagi para praktisi di dunia perkulitan.
Pergeseran warna bisa disebabkan karena
elektron dalam molekul dyestuff yang sensitif terhadap datangnya energi baru,
yaitu energi dari keringat. Hal ini menyebabkan terjadinya transisi elektron.
Ketika zat warna menerima maka akan mengeluarkan panjang gelombang yang tidak
sama dengan energi yang diterimanya. (Purnomo, E : 2010)
Untuk sarung tangan
warna-warna tua seperti hitam, pada umumnya disyaratkan tahan terhadap keringat
(perspiration fasness: 4-5), dan mempunyai karakter yang hidrophobik karena
sarung tangan dibuat tanpa menggunakan lapisan dalam sehingga kulit akan
langsung mengalami kontak dengan kulit. Untuk menghindari kontak
langsung dengan cat maka pada umumnya kulit bagian daging tidak terkena cat
dasar, dikenal dengan istilah oragiro atau BP (belakang putih). (Purnomo, E : 2010)
Syarat mempunyai fastness terhadap keringat
bernilai 4-5: fastness terhadap cahaya matahari 4–5: penetrasi yang rendah dan
bebas azo dyestuff. Karena diharapkan cat dasar hanya ada dipermukaan maka
pewarnaan dilakukan pada saat kulit mempunyai muatan positif yang tinggi
sehingga akan terjadi reaksi yang cepat dan cat terikat secara sempurna pada
permukaan kulit. (Purnomo, E : 2010).
Tidak hanya itu saja, bahwasanya kulit juga
harus mempunyai ketahanan terhadap keringat dimana dyes atau cat dasar adalah komponen
molekul organik yang memiliki kumpulan senyawa inti tak jenuh yang disebut
kromofor yang bergabung dengan komponen lain dimana gabungan ini disebut
kromogen serta gugus substantive yang berfungsi sebagai penguat warna dan
memperbaiki substantifitas ikatan dengan substratnya (serat kulit, kertas,
sutra, katun, poliamida dll) yang disebut auksokrom. Secara garis besar cat
dasar atau dyes yang digunakan dalam proses dyeing ini terbagi menjadi dua
kelompok terbesar yaitu cat alami dan cat sintetis. (Purnomo, E : 2010).
Mendasari ketahanan sifat yang dimiliki dari
kulit yang dicat adalah hasil dari penyamakan, jika kulit yang dicat
dikehendaki memiliki sifat ketahanan yang baik, cat harus terikat dengan kuat
pada kulit dan menghasilkan pengecatan yang ketahanannya baik, terhadap
kelunturan, keringat, pencucian dan ketahanan cahaya, ini penting di perhatikan
dalam menggunakan bahan–bahan penyamak untuk mengerjakan keperluan–keperluan.
Sebagian besar dari zat penyamak nabati dan sintetis mempunyai kekurangan dalam
hal ini. Auxiliaries agent, leveling agent, wetting back dan fat, juga sering bertanggung jawab untuk
melemahkan kekuatan ikatan dari cat atau mengurangi ketahanan cahaya dari
kulit, hanya bahan penyamak atau bahan penyamak aluminium dan beberapa
auxiliaries cation aktif yang dapat memberikan sifat ketahanan yang di miliki
kulit yang dicelup. (Purnomo, E : 2010).
Ikatan yang di hasilkan yang lebih banyak oleh
ikatan garam, ikatannya sama sekali tidak kuat, ikatannya akan pecah oleh
sedikit pembasahan dengan sedikit dinaikkan temperaturnya, keringat, hujan,
alkali-alkali lemah seperti debu/lumpur jalanan dan juga hasil perubahan dan
minyak. (Purnomo, E : 2010).
Cat kulit yang baik terikat pada serat kulit
tidak hanya oleh valensi–valensi ion pembentukan garam, tetapi juga oleh
valensi–valensi cat kulit yang baik terikat pada serat kulit tidak hanya oleh
valensi–valensi ion tetapi juga oleh valensi–valensi sekunder, pengikatan
dengan bantuan dari kekuatan valensi sekunder (daya koordinat) akan dominan
pada pengecatan dasar (dyeing) hampir dari seluruh tipe kulit, dengan demikian
ikatan-ikatan akan stabil, dalam hal ini cat–cat itu menghasilkan kulit dengan
warna yang berkualitas tinggi. (Purnomo, E : 2010).
9.
Bahan-Bahan
Pembantu Yang Digunakan Dalam Pengujian Ketahanan Warna Terhadap Keringat
Diantaranya :
a.
Sodium
Klorida / Natrium Klorida
Natrium klorida, juga
dikenal dengan garam dapur atau halit, adalah
senyawa kimia dengan rumus kimia NaCl. Senyawa ini adalah garam yang paling mempengaruhi salinitas laut dan cairan
ekstraselular pada banyak
organisme multiselular.
Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan pengawet
makanan. (Purnomo, E :
2010).
b.
Asam
Laktat
Asam laktat (Nama IUPAC: asam 2-hidroksipropanoat
(CH3-CHOH-COOH), dikenal juga sebagai asam
susu) adalah senyawa kimia
penting dalam beberapa proses biokimia. Seorang ahli
kimia Swedia, Carl Wilhelm Scheele,
pertama kali mengisolasinya
pada tahun 1780. Secara struktur, ia
adalah asam karboksilat
dengan satu gugus
(hidroksil) yang menempel pada gugus karboksil. Dalam air, ia terlarut lemah dan
melepas proton (H+),
membentuk ion laktat. Asam ini juga
larut dalam alkohol dan bersifat menyerap
air (higroskopik). (Purnomo, E : 2010).
Asam
ini memiliki simetri cermin (kiralitas),
dengan dua isomer: asam L-(+)-laktat
atau asam (S)-laktat dan,
cerminannya, asam D-(-)-laktat atau asam (R)-laktat. Hanya isomer yang pertama (S) aktif secara biologi. (Purnomo, E : 2010).
c.
Urea
Urea adalah suatu senyawa organik
yang terdiri dari unsur karbon,
hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4
atau (NH2)2CO. Urea
juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa.
Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl
diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis pertama
yang berhasil dibuat dari senyawa anorganik,
yang akhirnya meruntuhkan konsep vitalisme. (Purnomo, E : 2010).
BAB II
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A.
Pengujian
Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Pencucian
1.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui
ketahanan warna kulit tersamak terhadap pencucian dibawah kondisi domestik
dimana proses pencucian tidak hanya terjadi perubahan warna kulit tetapi
kemungkinan kelunturan dan memberikan noda pada bahan lainnya.
b.
Metode ini dapat
dipakai untuk semua jenis kulit tersamak terutama untuk kulit garmen, sepatu,
glove dan lain-lain yang secara normal dalam pemakaian produk disainnya akan
mengalami sentuhan dengan kulit manusia.
2.
Alat
dan Bahan
o Alat :
Kompor
Panci
Erlenmeyer
250 ml (2 buah)
Kelereng
(4 buah)
Thermometer
Gunting
Jarum
Benang
Peniti
Alat
untuk press
Potongan
kaca press (1 buah)
Oven
Grey
scale for assessing change in colour
Grey
scale for staining change in colour
o Bahan :
Kulit
hasil pewarnaan sandwich (5 x 3 cm) 2 buah
Kain katun (5 x 3 cm) 2 buah
Kain wool (5 x 3 cm) 2 buah
Sabun Dedocyl sodium sulphat
3.
Cara
Kerja
- Menjahit kulit diantara 2 kain katun & kulit yang lain diantara 2 kain wool
- Melarutkan sabun dedocyl dan memanaskan dengan suhu 40° - 50°C
- Memasukkan kulit yang dijahit dengan katun dan wool kedalam larutan sabun (75 ml) yang berada dimasing – masing erlenmeyer
- + 2 kelereng pada setiap erlenmeyer
- Dikocok 20 – 30 menit
- Di press dengan kemiringan 45° selama 20 – 30 mnit
- Jahitan dilepas pada bagian yang renggang
- Dikeringkan di oven 60°C
- Uji Grey Scale
Parameter
Grey Scale for assessing :
Nilai
|
Ketentuan
|
5
(baik sekali)
|
Tidak ada perubahan terhadap warna asli
|
4
(baik)
|
Sedikit
terjadi perubahan warna terhadap warna asli
|
3
(cukup)
|
Terjadi
perubahan warna terhadap warna asli
|
2
(sedang)
|
Terjadi
perubahan warna yang menyolok terhadap warna asli
|
1
(kurang)
|
Terjadi
perubahan warna yang sangat menyolok terhadap warna asli
|
Parameter
Grey Scale for stainning
Nilai
|
Ketentuan
|
5
(baik sekali)
|
Tidak ada noda pada kain putih
|
4
(baik)
|
Terdapat
noda pada kain putih yang sangat tipis
|
3
(cukup)
|
Terdapat
noda pada kain putih yang agak tebal
|
2
(sedang)
|
Terdapat noda pada kain putih yang tebal dan tajam
|
1
(kurang)
|
Terdapat noda pada kain putih yang sangat tebal, dalam
dan tajam
|
B.
Pengujian
Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Keringat
1.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui
ketahanan warna kulit tersamak terhadap keringat manusia dibawah kondisi
domestik dimana keringat manusia sangat
bervariasi sifatnya sehingga didalam proses pengujian dirancang dengan
menggunakan keringat buatan yng bersifat universal meskipun demikian tetap
memberikan hasil seperti keringat alami.
b.
Metode ini dapat
dipakai untuk semua jenis kulit tersamak terutama untuk kulit garmen, sepatu,
glove dan lain-lain yang secara normal dalam pemakaian produk disainnya akan mengalami
sentuhan dengan kulit manusia.
2. Alat dan Bahan
o Alat :
Beker
glass 500 ml (2 buah)
Gunting
Jarum
Benang
Peniti
Alat
press
Potongan
kaca press (1 buah)
Oven
Grey
scale for assessing change in colour
Grey
scale for staining change in colour
o Bahan :
Kulit
hasil pewarnaan sandwich (5 x 4 cm) 2 buah
Kain katun (5 x 4 cm) 2 buah
Kain wool (5 x 4 cm) 2 buah
Larutan keringat buatan
3.
Cara
Kerja
- Membuat larutan keringat buatan
- Merendam kain katun dan wool selama 30 menit pada beker glass
-
Menjahit kulit diantara 2 kain katun & kulit yang
lain diantara 2 kain wool
- Di press dengan kemiringan 45° selama 20 – 30 mnit
-
Dikeringkan di oven 37°C
- Jahitan dilepas
- Uji Grey Scale
Parameter Grey Scale for assessing :
Nilai
|
Ketentuan
|
5
(baik sekali)
|
Tidak ada perubahan terhadap warna asli
|
4
(baik)
|
Sedikit
terjadi perubahan warna terhadap warna asli
|
3
(cukup)
|
Terjadi
perubahan warna terhadap warna asli
|
2
(sedang)
|
Terjadi
perubahan warna yang menyolok terhadap warna asli
|
1
(kurang)
|
Terjadi
perubahan warna yang sangat menyolok terhadap warna asli
|
Parameter
Grey Scale for stainning
Nilai
|
Ketentuan
|
5
(baik sekali)
|
Tidak ada noda pada kain putih
|
4
(baik)
|
Terdapat
noda pada kain putih yang sangat tipis
|
3
(cukup)
|
Terdapat
noda pada kain putih yang agak tebal
|
2
(sedang)
|
Terdapat noda pada kain putih yang tebal dan tajam
|
1
(kurang)
|
Terdapat noda pada kain putih yang sangat tebal, dalam
dan tajam
|
BAB III
HASIL PENGAMATAN
BAB
IV
PEMBAHASAN
Untuk mengetahui kualitas warna yang diaplikasikan pada
kulit dilakukan pengujian ketahanan warna kulit tersamak terhadap pencucian dan
keringat. Kulit jadi/tersamak bisa dikatakan mempunyai kualitas bagus ketika kulit
tersebut mempunyai ketahanan tinggi terhadap pencucian dan keringat. Kulit yang
dijadikan produk tidak terlepas dari aktivitas manusia, mulai dari proses
pembuatan sampai barang jadi yang di pakai konsumen.
Dalam praktikum
dilakukan pengujian pada kulit tersamak yang di warna dengan menggunakan
metode sandwich. Pengujian dilakukan dengan mengkombinasikan kulit dengan kain
katun dan wool yang bertujuan mengetahui tingkat/berapa banyak kelunturan cat
yang menempel pada kain. Langkah pertama kulit dipotong (5x3cm) untuk uji pencucian, (5x4cm) uji keringat, kain
katun dan wool di potong sesuai ukuran
kulit. Kain dan kulit yang sudah terpotong dijahit/ disatukan, setiap kulit
dilapisi kain pada bagian flesh dan nerf. Pada uji pencucian larutan yang
digunakan adalah dedocyl sebagai bahan pembersih dengan suhu 40⁰c, suhu dibuat tidak
normal bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja larutan pembersih. Kulit
dimasukan kedalam Erlenmeyer yang berisi larutan pembersih dan dua buah
kelereng. Kelereng berfungsi membantu mempercepat pegadukan. Untuk pengujian
terhadap keringat, kain yang terpotong di rendam dalam larutan buatan yang
bertujuan membasahi kain dengan larutan keringat dan selanjutnya
dijahit/ditempelkan pada kulit.
Perlakuan pada pengujian keringat dan pencucian setelah
kulit basah, kulit dipres dengan kemiringan 45⁰ selama
20-30menit, setelah itu jahitan pada masing-masing kain dilepas dengan
menyisakan satu jahitan di satu sisi yang selanjutnya di keringkan dalam oven
dengan suhu 37⁰c,
pengeringan dilakukan dalam oven bertujuan agar warna tidak pudar, apabila di
keringkan dibawah sinar matahari secara langsung warna kulit akan pudar. Kulit
dioven sampai benar-benar kering yang kemudian kain dan kulit akan di cocokan
dengan greyscale. Greyscale yang digunakan ada dua macam, yaitu greyscale for assessing
digunakan untuk mengukur tingkat kelunturan kulit dan greyscale for staining di
gunakan untuk mengukur tingkat kelunturan kain. Ada beberapa factor yang
menyebabkan cat luntur, seperti ikatan cat dengan kulit kurang kuat, adanya cat
yang belum masuk dan kurang bersih saat di lakukan pencucian. Dyeing yang
kurang sempurna, fiksasi kurang maksimal dan kontrol proses kurang.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
·
Pengujian kulit
terhadap pencucian dan keringat bertujuan mengetahui kualitas warna pada kulit
·
Kulit di uji
dengan kain wool dan katun bertujuan mengetahui bahan/ kain yang cocok untuk
kulit ketika dikombiasikan dengan kain pada produk jadi dan ketika terkena
keringat maupun saat dicuci
·
Ketahanan warna
terhadap keringat dan pencucian sangat dipengaruhi oleh proses, kontrol proses,
bahan(kulit, chemical)
Daftar
Pustaka
Teknologi Pasca Tanning, Eddy Purnomo. 2010
Buku petunjuk praktikum teknologi pewarnaan dasar
http://majalahkkponune.files.wordpress.com/2014/07/27-1-artikel-3.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar