Jumat, 20 Maret 2015

Ketahanan Warna Kulit Tersamak Terhadap Pencucian Dan Kerinagat



LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEWARNAAN DASAR KULIT
“KETAHANAN WARNA KULIT TERSAMAK TERHADAP PENCUCIAN DAN KERINGAT
Dosen: Elis Nurbalia, ST, M.Eng



Disusun oleh
Alfin Muhaimin Salam
130201007
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN KULIT KONSENTRASI PENYAMAKAN KULIT

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN RI
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN INDUSTRI
AKADEMI TEKNOLOGI KULIT YOGYAKARTA
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Resmi PraktikumTeknologi Pewarnaan Dasar Kulit
KETAHANAN WARNA KULIT TERSAMAK TERHADAP PENCUCIAN DAN KERINGAT
Disusun Guna Melengkapi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Praktikum Teknologi Pewarnaan Dasar Kulit
Progran studi teknologi pengolahan kulit konsentrasi penyamakan kulit
Akademi Teknologi KulitYogyakarta
Yogyakarta,...........desember 2014
Praktikan

Alfin Muhaimin Salam
130201007
Mengetahui,
Asisten Dosen I                                                  Asisten Dosen II


                        Noviari Prasetyo Rini, Amd                                      Emilliana A. Spt, MP

Dosen Pengampu



Elis Nurbalia, ST, M.Eng







KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa  karena atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan resmi praktikum teknologi pewarnaan dasar kulit.
Pada kesempatan ini kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Elis Nurbalia, A.Md, ST, M.Eng selaku dosen pengampu mata kuliah Teknologi Pewarnaan Dasar Kulit atas bimbingannya, Noviari Prasetyo Rini, A.Md dan Emillia A. Spt, MP selaku asisten dosen praktikum Teknologi Pewarnaan Dasar Kulit serta semua pihak yang telah membantu.
Laporan Resmi Praktikum ini dibuat sebagai pertanggungjawaban atas  praktikum yang telah dilaksanakan. Dalam Laporan Resmi ini berisi semua hal yang berkaitan dengan praktikum yang telah dilaksanakan yaitu ketahanan kulit tersamak terhadap pencucian dan ketahanan kulit tersamak terhadap keringat.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan agar bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Yogyakarta,   November 2014

                                                                                                                                        Penulis




DAFTAR ISI
                                
HALAMAN JUDUL..................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...........................................................................
B.     Maksud dan  Tujuan..................................................................
C.     Tinjauan Pustaka........................................................................
BAB II. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A.    Pengujian Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Pencucian
1.      Tujuan..................................................................................
2.      Alat dan Bahan....................................................................
3.      Cara Kerja............................................................................
B.       Pengujian Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Keringat
1.    Tujuan...................................................................................
2.    Alat dan Bahan....................................................................
3.    Cara Kerja............................................................................
BAB III. PENGAMATAN.........................................................................
BAB IV. PEMBAHASAN.........................................................................
BAB V. PENUTUP
  Kesimpulan...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kualitas kulit bagus sangat di tuntut dalam industry perkulitan, terlebih kulit yang di butuhkan untuk membuat produk- produk unggulan yang banyak di buru pecinta produk dengan bahan dasar kulit. Mutu dan kualitas kulit jadi juga sangat menentukan kualitas produk yang akan di buat. Banyak di lakukan pengujian- pengujian untuk menentukan bagus atau tidaknya mutu kulit.Pengujian di lakukan setelah kulit melalui proses pewarnaan dasar (dyeing) atau kulit yang telah di finish. Warna merupakan sensasi cahaya akibat refleksi pada panjang gelombang tertentu dari suatu benda yang merupakan respon faali maupun psikologis oleh system syaraf mata pada selaput jala. Dari panjang gelombang yang berbeda tersebut akan menimbulkan efek warna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat industri kulit dituntut untuk meningkatkan kreatifitasnya agar kulit yang dihasilkan lebih berkualitas dan memiliki daya jual yang tinggi.Salah satu langkah yang dilakukan adalah memberikan warna dasar pada kulit tersebut setelah proses netralisasi atau setelah retanning tergantung dari jenis zat retanning (mineral, nabati, aldehide) yang digunakan untuk proses retanning. Proses pemberian warna tersebut biasa disebut dyeing dan zat warna yang digunakan disebut dyestuf. Terdapat bermacam – macam jenis dyestuf yang dapat digunakan untuk memberikan warna pada kulit, antara lain adalah acid dyestuf, direct dyestuf, metal complex, reaktive dyestuf, fur dyestuf, vat dyestuf, dan masih banyak lagi bahkan zat nabatipun dapat digunakan untuk proses pewarnaan dasar kulit.



B.       Maksud dan Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk :
1.    Untuk mengetahui ketahanan warna kulit tersamak terhadap pencucian dibawah kondisi domestik dimana proses pencucian tidak hanya terjadi perubahan warna kulit tetapi kemungkinan kelunturan dan memberikan noda pada bahan lainnya.
2.    Untuk mengetahui ketahanan warna kulit tersamak terhadap keringat manusia dibawah kondisi domestik dimana keringat manusia sangat bervariasi sifatnya sehingga didalam proses pengujian dirancang dengan menggunakan keringat buatan yng bersifat universal meskipun demikian tetap memberikan hasil seperti keringat alami.
3.    Metode ini dapat dipakai untuk semua jenis kulit tersamak terutama untuk kulit garmen, sepatu, glove dan lain-lain yang secara normal dalam pemakaian produk disainnya akan mengalami sentuhan dengan kulit manusia.

C.      Tinjauan Pustaka
1.    Zat Warna
Pada tahun 1876 Otto Witt mengusulkan teori tentang zat warna, bahwa dalam suatu struktur molekul zat warna akan mengandung gugus tidak jenuh yang disebut kromofor (Contoh : -N=N-, >C=O, -NO2) dan gugus pembentuk garam yang disebut auksokrom  Contoh : -OH, -NH2, -SO3H. Bila kromofor berikatan dengan sistem aromatik akan diperoleh senyawa yang berwarna, contohnya azo bensena berwarna orange, antrakwinon berwarna kuning muda. Gabungan sistem aromatik dan kromofor tersebut disebut kromogen. (Purnomo, E :  2010).
Kromogen seperti azobensena belum bisa dipakai sebagai zat warna karena intensitas warnanya rendah dan belum mempunyai daya celup. Tetapi bila dimasukkan satu atau lebih gugus auksokrom maka akan menjadi zat warna. Dilthey dan Wizinger mengemukakan bahwa auksokrom ada yang bersifat donor elelktron dan ada juga yang bersifat penarik elektron. Bila auksokrom pemberi elektron diletakan pada arah berlawanan dengan auksokrom penarik elektron dalam struktur molekul zat warna maka akan memperbesar sistem konyugasi zat warna, sehingga selain meningkatkan intensitas warna juga akan menimbulkan efek bathokromik, yaitu panjang gelombang maksimum ( λ maks) zat warnanya akan semakin besar, contohnya dari kuning menjadi merah.
Pada tahun 1900 Gomberg menemukan radikal trifenil metan yang ternyata berwarna padahal pada strukturnya tidak ada kromofor maupun auksokrom. Pada tahun 1907 Hewitt dan Mitchel menyatakan pentingnya sistem konyugasi dalam struktur zat warna, bahwa penuaan warna akan semakin besar dengan semakin panjangnya sistem konyugasi dalam struktur zat warna. Seiring dengan ditemukannya konsep resonansi elektron dalam struktur yang terkonyugasi diperoleh bahwa penyebab timbulnya warna adalah karena dalam struktur zat warna yang terkonjugasi akan ada resonansi electron π.

2.    Dyes.
Dyes adalah komponen molekul organik yang memiliki kumpulan senyawa inti tak jenuh, disebut kromofore yang bergabung dengan komponen lain dimana gabungan ini disebut kromogen serta gugus substantive yang berfungsi sebagai penguat/ mengintensifkan warna dan memperbaiki substantifitas ikatan dengan substratnya (serat kulit, kertas, poliamida, katun, sutera dll) yang disebut ausokrome. (ON Witt, 1876)

3.    Kromopore & Auksokrome.           
Kromofore (chromophore) berasal dari bahasa Yunani chroma = warna, dan phores = pembawa atau pengemban diartikan sebagai pembawa warna. Sedangkan auksokrome (auxochromes) berasal dari kata Yunani auxanien = meningkatkan dimaksud meningkatkan ikatan kimia dengan serat. Dapat dipahami kromofore adalah yang mengalami transisi electron ΠàΠ* sedangkan auksokrom yang menjalani transisi electron ŋ. (Purnomo, E :  2010).

4.    Mekanisme Ikatan Dyes dengan Kulit.
Pada dasarnya, pada saat kulit bersentuhan dengan pewarna akan segera terjadi reaksi parsial antara gugus muatan berlawana antara pewarna yang ter-ion dan bermuatan negative dengan bagian kulit yang bermuatan positif seperti komponen amina. Kecepatan reaksi tergantung pada VSF. Semakin negative reaksi semakin lambat ikatan ionik terjadi juga sangat lemah. Kulit wet-blue yang telah mengalami netralisasi, penyamakan ualng dan peminyakan VSFnya sangat tinggi sehingga sulit bagi pewarna untuk terikat kecuali dipercepat dengan penambahan asam yang dapat mempercepat proses disosiasi garam pewarna dan gugus amina pada kulit. Proses ini disebut fiksasi atau pengikatan. (Purnomo, E :  2010).

5.    Ketahanan Warna Kulit Tersamak Terhadap Pencucian (Colour Fastness to Washing Of Leather)
     Warna adalah spektrum yang terdiri atas radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang 400-800 nm. Sinar putih akan terserap pada panjang gelombang tertentu dan yang terpantul merupakan sisa warna yang terserap. Pewarnaan dasar adalah memberikan warna dasar agar dapat memperindah warna kulit jadinya (Purnomo, E :  2001).
Leather Dyer’s Manual (BASF) mengungkapkan bahwa faktor-faktor fundamental yang mendasari ketahanan sifat yang dimiliki dari kulit yang dicat adalah hasil dari penyamakan. Jika kulit yang dicat dikehendaki memiliki sifat ketahanan yang baik, cat harus terikat dengan kuat pada kulit dan menghasilkan pengecatan yang ketahanannya baik terhadap kelunturan, keringat, pencucian dan ketahanan cahaya. Ini penting diperhatikan dalam menggunakan bahan-bahan penyamak untuk mengerjakan keperluan-keperluan ini. (Purnomo, E :  2001).
Ikatan yang dihasilkan lebih banyak oleh ikatan garam. Ikatannya sama sekali tidak kuat, dan akan pecah oleh sedikit pembasahan dengan sedikit dinaikkan temperaturnya, keringat, hujan, alkali-alkali lemah seperti debu atau lumpur jalanan dan juga hasil perubahan dari minyak. Cat kulit yang baik terikat pada serat kulit tidak hanya oleh valensi-valensi ion pembentukan garam tetapi juga oleh valensi-valensi sekunder. Pengikatan dengan bantuan dari kekuatan valensi sekunder (daya koordinat) akan dominan pada pengecatan dasar (dyeing) hampir dari seluruh tipe kulit. Dengan demikian ikatan-ikatan akan stabil. Dalam hal ini, cat-cat itu menghasilkan kulit dengan warna yang berkualitas tinggi. (Purnomo, E :  2001).
6.    Faktor-Faktor Kelunturan Warna
a.        Ikatan Antara Cat Dasar Dengan Kulit
Abrahart EN (1979) menyatakan, bahwa ada 4 tipe ikatan antara cat dengan kulit, yaitu:
1.    Ikatan ionik
            Ikatan ionik adalah gaya tarik menarik antara dua muatan listrik yang berlainan sehingga tidak ada ikatan yang erat antara ion–ion, bila senyawa ion di larutkan dalam air maka maka ion–ion akan terdisosiasi. Ikatan terjadi dari interaksi antara muatan positif kulit dengan muatan negative dari molekul cat dasar atau sebaliknya.

2.    Ikatan hidrogen
Ikatan antara molekul berupa gaya tarik menarik oleh atom yang keelektronegatifannya sangat besar (F, O atau N) terhadap atom H dalam molekul lain. Suatu cat yang mengandung unsur H pada rantai sambungnya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan kulit.
3.    Ikatan kovalen
            Kovalen sebagai ikatan yang sangat kuat, terbentuk karena penggunaan bersama pasangan elektron John Selbin (1993). Bila elektron yang digunakan bersama berasal dari satu pihak maka ikatannya disebut ikatan kovalen koordinat. Dengan adanya ikatan–ikatan tersebut cat dasar akan terikat kuat di serat kulit dan tidak luntur.
4.    Ikatan var der waals
            Pada molekul–molekul non polar terjadi gaya tarik menarik yang lemah kemudian membentuk ikatan yang dikenal dengan ikatan var der waals. Gaya tarik-menarik yang lemah disebabkan oleh terbentuknya dipol sesaat yang terjadi antar molekul yang non polar.
            John Selbin (1993) mengatakan, bahwa dari keempat jenis ikatan tersebut mempunyai kekuatan  ikatan berturut–turut dari kuat ke lemah sebagai berikut:
1.   Ikatan kovalen
2.   Ikatan ionik
3.   Ikatan hidrogen
4.   Ikatan  van der waals
            Setelah kita mengetahui iakatn–ikatan kimia cat dengan kulit, kita tahu bahwa untuk memperbaiki sifat ketahanan gosok dan kelunturan warna kulit adalah pemilihan bahan kimia dan aplikasi dyeing yang menitik beratkan pada kekuatan ikatan cat dengan kulit.

b.        Adanya Molekul Cat Yang Bebas Di Permukaan Kulit
Hakikat dasar proses pengecatan dasar adalah mereaksikan molekul cat dengan serat kulit. Apabila gugus yang bermuatan kationik di dalam kulit sudah mengalami titik jenuh, maka tidak dapat lagi mengikat gugus anionik dari cat dasar atau dengan kata lain cat muatan kationik di dalam kulit kurang. (Purnomo, E :  2001).

c.         Proses Fiksasi Yang Kurang Sempurna
Pemakaian asam dan waktu putar yang kurang dapat menyebabkan fiksasi kurang sempurna karena reaksi antara molekul cat dengan muatan kationik kulit tidak maksimal. Selain itu terkadang terdapat jenis cat dasar asam yang molekulnya belum terpecahkan atau terdisosiasi pada pH fiksasi tersebut akibatanya tidak terjadi reaksi antara molekul cat dengan muatan kationik kulit. (Purnomo, E :  2001).

d.        Penggunaan Syntan Yang Berlebihan
Proses retaining menggunakan tanigan OS yang merupakan  syntan  bermuatan anionik yang akan menghalangi (mengeblok) grup amino dan dapat memberikan efek keratin warna. Tetapi penggunaan yang berlebih (1,5%) menyebabkan tidak terikatnya molekul cat dengan maksimal karena berkurangnya muatan kationik kulit sehingga dapat mengakibatkan kelunturan. (Purnomo, E :  2001).

e.         Fatliquoring
Tingginya kadar SO3-, sulfochlrinared dan bahan pengemulsi dari minyak akan meningkatkan penetrasi dan kerekatan cat tetapi dapat mengurangi ketajaman warna atau memberikan efek pemucatan. (Purnomo, E :  2001).
7.    Peningkatkan Ketahanan Kelunturan Kulit
Menurut Purnomo, E (2001), peningkatan ketahanan kelunturan warna dipengaruhi oleh :
a.    Penggunaan bahan penyamak mineral akan menyumbangkan gugus kationiknya dan membentuk senyawa kompleks dengan senyawa asam. Ikatan yang terbentuk adalah kovalen koordinat yang sifatnya sangat kuat sehingga cat tidak mudah luntur.
b.    Pemilihan cat dasar
Cat dasar yang digunakan memiliki ikatan molekul yang sama, ph yang sesuai dengan ph kulit.
c.    Metode pewarnaan
Pewarnaan dengan metode sandwich akan memberikan ikatan yang maksimal pada kulit sehingga menghasilkan kulit yang mempunyai ketahan luntur yang baik. Metode ini di lakukan saat proses topping dyes yaitu dengan menambahkan cat dasar dengan waktu relatif singkat dan diselingi dengan penambahan asam. Sehingga cat sebagian besar terikat di permukaan dan menghasilkan warna yang tajam.
d.   Pemilihan bahan kimia
Bahan-bahan kimia dan perlakuan kimia tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna atau kelunturan bahan kimia misalnya sabun yang dipakai pada pencucian kulit, asam termasuk keringat manusia dapat mengikat cat dasar atau memutus ikatan cat dengan kulit. Perlakuan fisis seperti gesekan akan menimbulkan energi panas dan elektron jika elektron ini mampu mempengaruhi cat maka warna sangat mungkin terjadi perubahan. Hal ini disebabkan transisi elektron ketika zat menerima maka akan mengeluarkan panjang gelombang yang tidak sama sesuai dengan energi yang diterima.
Uji ketahanan kulit pada pencucian pada dasarnya mengandung metode pelunturan warna, dimana kulit yang diuji atau dicuci akan memberikan noda atau kelunturan pada bahan yang dilekatkan, jika bahan tersebut banyak kelunturannya berarti kulit yang diuji tidak tahan terhadap pencucian. Uji ketahanan warna terhadap pencucian pada prinsipnya dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
a.       Penetrasi cat terhadap kulit, pada penetrasi yang tinggi kemampuan cat untuk bereaksi dengan bahan lain semakin rendah.
b.      Semakin kecil penetrasi cat terhadap kulit, maka semakin kecil kelunturannya terhadap pelunturan.
c.       Kelemahan afinitas cat terhadap kulit serta terhadap air sabun sehingga tidak mudah untuk melunturkan bahan lain yang sebagai pembanding.

Adapun bahan yang biasa digunakan untuk uji ketahanan terhadap pencucian adalah:
1.      Kelompok senyawa natrium alkali sulfat
Misal : dedocyl sodium sulphate    R – Na2SO4
2.      Kelompok senyawa natrium alkali benzone sulfonat
Misal : Alkali benzene sulfonat
                     CH3 – (CH2)n – CH –          – S – ONa
                                                         |      ||
                                                     CH3    O
Dalam penggunaannya pada proses penyamakan, cat dasar yang digunakan harus melalui beberapa tahapan pengujian sifat sehingga dapat disesuaikan penggunaannya dengan jenis penyamakan yang dilakukan. Proses pengecatan dasar sendiri terpengaruh pada beberapa hal antara lain temperatur, konsentrasi, serta jenis penyamakan. Valensi sekunder pada cat akan dilemahkan dengan naiknya temperatur dan temperatur yang tinggi akan dapat memecah molekul cat dasar. Hal ini menyebabkan kelarutan yang cukup baik pada cat dasar. Dengan temperatur yang semakin tinggi akan menjadikan molekul cat dasar semakin mengecil, keadaan tersebut menyebabkan penetrasi dan distribusi cat pada kulit semakin baik tetapi memiliki daya ikat yang kurang. (Purnomo, E : 2010).
Konsentrasi cat dasar yang tinggi akan memberikan warna yang terang pada permukaan kulitnya. Namun, dalam prosesnya konsentrasi yang tinggi harus diimbangi dengan jumlah air yang mencukupi karena jika tidak maka dapat menyebabkan difusi cat yang tidak merata pada penampang kulit. Jenis cat dasar yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis bahan penyamak yang digunakan karena gugus pada cat dasar dapat berikatan dengan gugus pada bahan penyamak. Misalnya saja untuk cat dasar dari jenis cat asam jika digunakan pada proses penyamakan dengan krom maka ikatan yang terjadi tergolong cepat sehingga penetrasi bahan pada kulit tidak merata. Sebaliknya jika digunakan pada kulit yang disamak nabati maka ikatan yang terjadi tergolong lambat sehingga penetrasi bahan juga lambat dan penetrasi bahan cukup baik. (Purnomo, E : 2010).
8.    Ketahanan Warna Kulit Tersamak Terhadap Keringat (Colour Fastness to Perpiration Of Leather)
Kandungan utama dalam keringat adalah sodium klorida (bahan utama garam dapur) selain bahan lain (yang mengeluarkan aroma) seperti 2-metilfenol (o-kresol) dan 4-metilfenol (p-kresol). Penguapan keringat dari permukaan kulit memiliki efek pendinginan karena panas laten penguapan air yang mengambil panas dari kulit. Oleh karena itu, pada cuaca panas, atau ketika otot memanas karena bekerja keras, keringat dihasilkan. Keringat meningkat dalam keadaan gugup dan mual, serta menurun dalam keadaan demam. Hewan-hewan yang memiliki sedikit kelenjar keringat, seperti anjing, menurunkan temperatur tubuh dengan membuka mulutnya sambil menjulurkan lidah (terengah-engah), sehingga air menguap dari rongga mulut dan pharynx-nya. Hewan primata dan kuda, memiliki kelenjar keringat di ketiak seperti pada manusia. (Purnomo, E : 2010)
Keringat merupakan limbah yang dihasilkan dari aktivasi tubuh manusia yang mengandung bahan-bahan yang sangat bervariasi, antara lain; NaCl, asam laktat, urea, amonia dan sebagainya, serta mengandung aneka ragam jenis bakteri yang dapat memberikan efek bau kurang sedap. Dalam realita kehidupan sehari-hari keringat dapat merusak barang kulit jadi seperti sarung tangan, garment dan lain-lain. Keringat dapat memberikan efek keras dan rengas pada kulit. Rusaknya pegangan kulit disebabkan karena keringat mampu bereaksi dengan chrom kompleks dalam kulit. Keringat berkedudukan sebagai asam lemah, sehingga dalam kasus ini bisa dikatakan terjadi proses retanning dan proses ini mengakibatkan kulit menjadi semakin berat dan kaku. Terkadang warna juga bisa pudar atau bahkan luntur akibat perlakuan keringat. (Purnomo, E : 2010)
Terdapat dua macam kelenjar keringat yang berbeda dalam komposisi keringat yang dihasilkan serta fungsinya:
1.    Kelenjar keringat ekrin tersebar di seluruh permukaan tubuh tetapi lebih banyak terdapat telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Keringat yang dihasilkan adalah air yang mengandung berbagai macam garam. Kelenjar ini berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh.
2.    Kelenjar keringat apokrin menghasilkan keringat yang mengandung lemak. Kelenjar ini terutama terdapat pada ketiak dan sekitar alat kelamin. Aktivitas kelenjar ini menghasilkan bau karena aktivitas  bakteri yang memecah komponen organik dari keringat yang dihasilkannya.
Keringat manusia sangat bervariasi sifatnya. Sehingga sulit untuk membandingkan ketahanan kulit terhadap keringat manusia dengan indikator manusia yang berbeda. Sehingga untuk menghadapi masalah itu maka pengujian ketahanan keringat dapat diuji dengan menggunakan indikator larutan keringat buatan yang bersifat universal tetapi mampu memberikan hasil seperti keringat alami. Ketahanan keringat sangat penting dalam pengujian kualitas kulit yang banyak berhubungan langsung dengan kulit manusia. Misalnya kulit garment dan kulit lapis yang digunakan dan harus bersentuhan langsung dengan kulit manusia. Inilah yang harus diperhatikan dalam pengolahan kulit bagi para praktisi di dunia perkulitan.
Pergeseran warna bisa disebabkan karena elektron dalam molekul dyestuff yang sensitif terhadap datangnya energi baru, yaitu energi dari keringat. Hal ini menyebabkan terjadinya transisi elektron. Ketika zat warna menerima maka akan mengeluarkan panjang gelombang yang tidak sama dengan energi yang diterimanya. (Purnomo, E : 2010)
Untuk sarung tangan warna-warna tua seperti hitam, pada umumnya disyaratkan tahan terhadap keringat (perspiration fasness: 4-5), dan mempunyai karakter yang hidrophobik karena sarung tangan dibuat tanpa menggunakan lapisan dalam sehingga kulit akan langsung mengalami kontak dengan kulit. Untuk menghindari kontak langsung dengan cat maka pada umumnya kulit bagian daging tidak terkena cat dasar, dikenal dengan istilah oragiro atau BP (belakang putih). (Purnomo, E : 2010)
Syarat mempunyai fastness terhadap keringat bernilai 4-5: fastness terhadap cahaya matahari 4–5: penetrasi yang rendah dan bebas azo dyestuff. Karena diharapkan cat dasar hanya ada dipermukaan maka pewarnaan dilakukan pada saat kulit mempunyai muatan positif yang tinggi sehingga akan terjadi reaksi yang cepat dan cat terikat secara sempurna pada permukaan kulit. (Purnomo, E : 2010).
Tidak hanya itu saja, bahwasanya kulit juga harus mempunyai ketahanan terhadap keringat dimana dyes atau cat dasar adalah komponen molekul organik yang memiliki kumpulan senyawa inti tak jenuh yang disebut kromofor yang bergabung dengan komponen lain dimana gabungan ini disebut kromogen serta gugus substantive yang berfungsi sebagai penguat warna dan memperbaiki substantifitas ikatan dengan substratnya (serat kulit, kertas, sutra, katun, poliamida dll) yang disebut auksokrom. Secara garis besar cat dasar atau dyes yang digunakan dalam proses dyeing ini terbagi menjadi dua kelompok terbesar yaitu cat alami dan cat sintetis. (Purnomo, E : 2010).
Mendasari ketahanan sifat yang dimiliki dari kulit yang dicat adalah hasil dari penyamakan, jika kulit yang dicat dikehendaki memiliki sifat ketahanan yang baik, cat harus terikat dengan kuat pada kulit dan menghasilkan pengecatan yang ketahanannya baik, terhadap kelunturan, keringat, pencucian dan ketahanan cahaya, ini penting di perhatikan dalam menggunakan bahan–bahan penyamak untuk mengerjakan keperluan–keperluan. Sebagian besar dari zat penyamak nabati dan sintetis mempunyai kekurangan dalam hal ini. Auxiliaries agent, leveling agent, wetting back dan fat,  juga sering bertanggung jawab untuk melemahkan kekuatan ikatan dari cat atau mengurangi ketahanan cahaya dari kulit, hanya bahan penyamak atau bahan penyamak aluminium dan beberapa auxiliaries cation aktif yang dapat memberikan sifat ketahanan yang di miliki kulit yang dicelup. (Purnomo, E : 2010).
Ikatan yang di hasilkan yang lebih banyak oleh ikatan garam, ikatannya sama sekali tidak kuat, ikatannya akan pecah oleh sedikit pembasahan dengan sedikit dinaikkan temperaturnya, keringat, hujan, alkali-alkali lemah seperti debu/lumpur jalanan dan juga hasil perubahan dan minyak. (Purnomo, E : 2010).
Cat kulit yang baik terikat pada serat kulit tidak hanya oleh valensi–valensi ion pembentukan garam, tetapi juga oleh valensi–valensi cat kulit yang baik terikat pada serat kulit tidak hanya oleh valensi–valensi ion tetapi juga oleh valensi–valensi sekunder, pengikatan dengan bantuan dari kekuatan valensi sekunder (daya koordinat) akan dominan pada pengecatan dasar (dyeing) hampir dari seluruh tipe kulit, dengan demikian ikatan-ikatan akan stabil, dalam hal ini cat–cat itu menghasilkan kulit dengan warna yang berkualitas tinggi. (Purnomo, E : 2010).

9.    Bahan-Bahan Pembantu Yang Digunakan Dalam Pengujian Ketahanan Warna Terhadap Keringat Diantaranya :
a.    Sodium Klorida / Natrium Klorida
Natrium klorida, juga dikenal dengan garam dapur atau halit, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia NaCl. Senyawa ini adalah garam yang paling mempengaruhi salinitas laut dan cairan ekstraselular pada banyak organisme multiselular. Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan. (Purnomo, E : 2010).
b.   Asam Laktat
Asam laktat (Nama IUPAC: asam 2-hidroksipropanoat (CH3-CHOH-COOH), dikenal juga sebagai asam susu) adalah senyawa kimia penting dalam beberapa proses biokimia. Seorang ahli kimia Swedia, Carl Wilhelm Scheele, pertama kali mengisolasinya pada tahun 1780. Secara struktur, ia adalah asam karboksilat dengan satu gugus (hidroksil) yang menempel pada gugus karboksil. Dalam air, ia terlarut lemah dan melepas proton (H+), membentuk ion laktat. Asam ini juga larut dalam alkohol dan bersifat menyerap air (higroskopik). (Purnomo, E : 2010).
Asam ini memiliki simetri cermin (kiralitas), dengan dua isomer: asam L-(+)-laktat atau asam (S)-laktat dan, cerminannya, asam D-(-)-laktat atau asam (R)-laktat. Hanya isomer yang pertama (S) aktif secara biologi. (Purnomo, E : 2010).
c.       Urea
Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis pertama yang berhasil dibuat dari senyawa anorganik, yang akhirnya meruntuhkan konsep vitalisme. (Purnomo, E : 2010).












BAB II
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

A.      Pengujian Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Pencucian
1.    Tujuan
a.    Untuk mengetahui ketahanan warna kulit tersamak terhadap pencucian dibawah kondisi domestik dimana proses pencucian tidak hanya terjadi perubahan warna kulit tetapi kemungkinan kelunturan dan memberikan noda pada bahan lainnya.
b.    Metode ini dapat dipakai untuk semua jenis kulit tersamak terutama untuk kulit garmen, sepatu, glove dan lain-lain yang secara normal dalam pemakaian produk disainnya akan mengalami sentuhan dengan kulit manusia.
2.    Alat dan Bahan
o    Alat                      :
Kompor
Panci
Erlenmeyer 250 ml (2 buah)
Kelereng (4 buah)
Thermometer
Gunting
Jarum
Benang
Peniti
Alat untuk press
Potongan kaca press (1 buah)
Oven
Grey scale for assessing change in colour
Grey scale for staining change in colour


o    Bahan       :
Kulit hasil pewarnaan sandwich (5 x 3 cm) 2 buah
Kain katun (5 x 3 cm) 2 buah
Kain wool (5 x 3 cm) 2 buah
Sabun Dedocyl sodium sulphat

3.    Cara Kerja
  • Menjahit kulit diantara 2 kain katun & kulit yang lain diantara 2 kain wool 
  • Melarutkan sabun dedocyl dan memanaskan dengan suhu 40° - 50°C
  • Memasukkan kulit yang dijahit dengan katun dan wool kedalam larutan sabun (75 ml) yang berada dimasing – masing erlenmeyer  
  • + 2 kelereng pada setiap erlenmeyer
  • Dikocok 20 – 30 menit
  • Di press dengan kemiringan 45° selama 20 – 30 mnit
  • Jahitan dilepas pada bagian yang renggang
  • Dikeringkan di oven 60°C
  • Uji Grey Scale








































































 



















Parameter Grey Scale for assessing :
Nilai
Ketentuan
5 (baik sekali)
Tidak ada perubahan terhadap warna asli
4 (baik)
Sedikit terjadi perubahan warna terhadap warna asli
3 (cukup)
Terjadi perubahan warna terhadap warna asli
2 (sedang)
Terjadi perubahan warna yang menyolok terhadap warna asli
1 (kurang)
Terjadi perubahan warna yang sangat menyolok terhadap warna asli

Parameter Grey Scale for stainning
Nilai
Ketentuan
5 (baik sekali)
Tidak ada noda pada kain putih
4 (baik)
Terdapat noda pada kain putih yang sangat tipis
3 (cukup)
Terdapat noda pada kain putih yang agak tebal
2 (sedang)
Terdapat noda pada kain putih yang tebal dan tajam
1 (kurang)
Terdapat noda pada kain putih yang sangat tebal, dalam dan tajam





B.       Pengujian Ketahanan Warna Kulit Tersamak terhadap Keringat
1.    Tujuan
a.    Untuk mengetahui ketahanan warna kulit tersamak terhadap keringat manusia dibawah kondisi domestik dimana keringat manusia  sangat bervariasi sifatnya sehingga didalam proses pengujian dirancang dengan menggunakan keringat buatan yng bersifat universal meskipun demikian tetap memberikan hasil seperti keringat alami.
b.    Metode ini dapat dipakai untuk semua jenis kulit tersamak terutama untuk kulit garmen, sepatu, glove dan lain-lain yang secara normal dalam pemakaian produk disainnya akan mengalami sentuhan dengan kulit manusia.
2.    Alat dan Bahan
o     Alat                     :
Beker glass 500 ml (2 buah)
Gunting
Jarum
Benang
Peniti
Alat press
Potongan kaca press (1 buah)
Oven
Grey scale for assessing change in colour
Grey scale for staining change in colour

o    Bahan       :
Kulit hasil pewarnaan sandwich (5 x 4 cm) 2 buah
Kain katun (5 x 4 cm) 2 buah
Kain wool (5 x 4 cm) 2 buah
Larutan keringat buatan


3.    Cara Kerja
  • Membuat larutan keringat buatan
  • Merendam kain katun dan wool selama 30 menit pada beker glass
  • Menjahit kulit diantara 2 kain katun & kulit yang lain diantara 2 kain wool 
  • Di press dengan kemiringan 45° selama 20 – 30 mnit
  • Dikeringkan di oven 37°C 
  • Jahitan dilepas
  • Uji Grey Scale







































































Parameter Grey Scale for assessing :
Nilai
Ketentuan
5 (baik sekali)
Tidak ada perubahan terhadap warna asli
4 (baik)
Sedikit terjadi perubahan warna terhadap warna asli
3 (cukup)
Terjadi perubahan warna terhadap warna asli
2 (sedang)
Terjadi perubahan warna yang menyolok terhadap warna asli
1 (kurang)
Terjadi perubahan warna yang sangat menyolok terhadap warna asli


Parameter Grey Scale for stainning
Nilai
Ketentuan
5 (baik sekali)
Tidak ada noda pada kain putih
4 (baik)
Terdapat noda pada kain putih yang sangat tipis
3 (cukup)
Terdapat noda pada kain putih yang agak tebal
2 (sedang)
Terdapat noda pada kain putih yang tebal dan tajam
1 (kurang)
Terdapat noda pada kain putih yang sangat tebal, dalam dan tajam




BAB III
HASIL PENGAMATAN








BAB IV
PEMBAHASAN
            Untuk mengetahui kualitas warna yang diaplikasikan pada kulit dilakukan pengujian ketahanan warna kulit tersamak terhadap pencucian dan keringat. Kulit jadi/tersamak bisa dikatakan mempunyai kualitas bagus ketika kulit tersebut mempunyai ketahanan tinggi terhadap pencucian dan keringat. Kulit yang dijadikan produk tidak terlepas dari aktivitas manusia, mulai dari proses pembuatan sampai barang jadi yang di pakai konsumen.
            Dalam praktikum  dilakukan pengujian pada kulit tersamak yang di warna dengan menggunakan metode sandwich. Pengujian dilakukan dengan mengkombinasikan kulit dengan kain katun dan wool yang bertujuan mengetahui tingkat/berapa banyak kelunturan cat yang menempel pada kain. Langkah pertama kulit dipotong (5x3cm) untuk  uji pencucian, (5x4cm) uji keringat, kain katun  dan wool di potong sesuai ukuran kulit. Kain dan kulit yang sudah terpotong dijahit/ disatukan, setiap kulit dilapisi kain pada bagian flesh dan nerf. Pada uji pencucian larutan yang digunakan adalah dedocyl sebagai bahan pembersih dengan suhu  40c, suhu dibuat tidak normal bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja larutan pembersih. Kulit dimasukan kedalam Erlenmeyer yang berisi larutan pembersih dan dua buah kelereng. Kelereng berfungsi membantu mempercepat pegadukan. Untuk pengujian terhadap keringat, kain yang terpotong di rendam dalam larutan buatan yang bertujuan membasahi kain dengan larutan keringat dan selanjutnya dijahit/ditempelkan pada kulit.
            Perlakuan pada pengujian keringat dan pencucian setelah kulit basah, kulit dipres dengan kemiringan 45 selama 20-30menit, setelah itu jahitan pada masing-masing kain dilepas dengan menyisakan satu jahitan di satu sisi yang selanjutnya di keringkan dalam oven dengan suhu 37c, pengeringan dilakukan dalam oven bertujuan agar warna tidak pudar, apabila di keringkan dibawah sinar matahari secara langsung warna kulit akan pudar. Kulit dioven sampai benar-benar kering yang kemudian kain dan kulit akan di cocokan dengan greyscale. Greyscale yang digunakan ada dua macam, yaitu greyscale for assessing digunakan untuk mengukur tingkat kelunturan kulit dan greyscale for staining di gunakan untuk mengukur tingkat kelunturan kain. Ada beberapa factor yang menyebabkan cat luntur, seperti ikatan cat dengan kulit kurang kuat, adanya cat yang belum masuk dan kurang bersih saat di lakukan pencucian. Dyeing yang kurang sempurna, fiksasi kurang maksimal dan kontrol proses kurang.



BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
·         Pengujian kulit terhadap pencucian dan keringat bertujuan mengetahui kualitas warna pada kulit
·         Kulit di uji dengan kain wool dan katun bertujuan mengetahui bahan/ kain yang cocok untuk kulit ketika dikombiasikan dengan kain pada produk jadi dan ketika terkena keringat maupun saat dicuci
·         Ketahanan warna terhadap keringat dan pencucian sangat dipengaruhi oleh proses, kontrol proses, bahan(kulit, chemical)



Daftar Pustaka
Teknologi Pasca Tanning, Eddy Purnomo. 2010
Buku petunjuk praktikum teknologi pewarnaan dasar
http://majalahkkponune.files.wordpress.com/2014/07/27-1-artikel-3.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar